Agustus 28, 2014

Tradisi Pesta Mercon



Bagi masyarakat Indonesia, tradisi Sumet Mercon / Petasan ini adalah moment yang ditunggu-tunggu setelah melaksanakan sholat Idul Fitri. Petasan yang dipakai biasanya disebut brondongan. Bentuknya kecil-kecil tapi banyak. Ada juga yang menyalakan petasan dalam ukuran besar.
Di masyarakat pedesaan muncul ungkapan 'kalau tidak ada petasan berarti tidak Lebaran', Bukti bahwa petasan adalah bagian tradisi. Sedangkan didaerah perkotaan sejalan dengan perkembangan zaman, tradisi itu berangsur ditinggalkan, karena pemerintah memperketat aturan tentang membuat, membunyikan dan memperdagangkan mercon.


Pada petasan brondongan biasanya diseling-seling dengan kombinasi ukuran mercon yang berbeda, ada yang kecil dan yang besar, ketika disulut menimbulkan suara ledakan beruntun, layaknya bunyi senapan otomatis dan diselingi suara ledakan layaknya granat 







Seorang anak menutup telinga waktu petasan meledak

Kertas bekas petasan yang telah diledakkan


Agustus 26, 2014

Gili Labak - The Exotic Island


Ketika menginjakkan kaki di pulau Gili Labak, sejauh mata memandang Anda pasti akan terpana keindahannya.
Worth it banget perjalanan selama 3 jam, menyeberang dari pelabuhan Kalianget. Pulau ini tepatnya berada di Kabupaten Sumenep, ujung Madura. Kalau dari Surabaya menuju Sumenep dibutuhkan waktu sekitar 4-5 jam.


Pulau kecil ini juga dikenal dengan sebutan pulau tikus, dihuni sekitar 35 kepala keluarga atau 100 jiwa lebih, yakni perempuan 58 orang dan laki-laki hanya 36 orang dan selebihnya masih usai sekolah. Luas Gili Labak hanya sekitar 5 hektar saja dan untuk mengelilingi pulau melalui pesisir pantai hanya menghabiskan waktu sekitar 15 hingga 30 menit dengan berjalan kaki, karena memang tak ada moda transportasi darat di pulau ini.





Jika ingin puas menikmati eksotisnya, paling tidak Anda harus menginap selama 3 hari. Banyak sekali yang bisa dilakukan, antara lain swimming, snorkling, diving dll. Cocok sekali bagi peminat keindahan alam bawah laut, kebanyakan turis yang datang memang ingin melakukan aktivitas seperti snorkeling ataupun diving. Pulau Gili Labak tidak jauh berbeda dengan gili air, gili kondo di Pulau Lombok. Sama-sama memiliki pasir putih.




 Bagi anda yang ingin merasakan sensasi pulau pribadi serta daerah pesisir pantai yang masih alami, Gili Labak merupakan lokasi yang tepat.


Pelaut yang tinggal di Gili Labak




http://hengkypagipho.wordpress.com/

Agustus 25, 2014

Panjat Pinang – A Slippery Tradition of Indonesia


Salah satu cara unik untuk merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia adalah Panjat Pinang. Berasa kembali ke masa kolonial Belanda, Panjat Pinang adalah salah satu tradisi yang tertua dan terpopuler di Indonesia. 




Bentuk lombanya adalah sebuah pohon pinang yang tinggi dan batangnya dilumuri oleh pelumas dalam keadaan berdiri. Kemudian di bagian atas pohon tersebut, disiapkan berbagai hadiah menarik. Para peserta berlomba untuk mendapatkan hadiah-hadiah tersebut dengan cara memanjat batang pohon.




Karena batang pohon licin, diberi pelumas, para pemanjat batang pohon sering kali jatuh. Akal dan kerja sama para peserta adalah yang paling penting untuk bisa memanjat batang pohon licin. Ketika banyak peserta lomba yang jatuh menjadi atraksi yang menarik bagi para penonton. Setelah berhasil mencapi puncak maka hadiah-hadiah tersebut bisa diambil dan dibagikan kepada para peserta dalam satu tim.
Warga Jemursari, Surabaya sudah beberapa tahun ini menyelenggarakan Panjat Pinang. Pesertanya banyak juga yang dari luar kota, karena hadiah yang diperebutkan lumayan besar, ada lemari es, televisi dll.

Sejarah Panjat Pinang

Panjat pinang berasal dari zaman penjajahan Belanda dulu. lomba panjat pinang diadakan oleh orang Belanda jika sedang mengadakan acara besar seperti hajatan, pernikahan, dan lain-lain.yang mengikuti lomba ini adalah orang-orang pribumi. Hadiah yang diperebutkan biasanya bahan makanan seperti keju, gula, serta pakaian seperti kemeja, maklum karena dikalangan pribumi barang-barang seperti ini termasuk mewah. sementara orang pribumi bersusah payah untuk memperebutkan hadiah, para orang-orang Belanda menonton sambil tertawa. tata cara permainan ini belum berubah sejak dulu.

Bisa dibayangkan kondisi pada masa penjajahan, sementara warga negara Indonesia bersusah payah dengan berlumuran keringat, para Penjajah Belanda dan keluarganya tertawa terbahak bahak melihat penderitaan Bangsa Indonesia. Dan mungkin saat ini, ketika perayaan 17 Agustus, mereka masih tertawa terbahak bahak, menyaksikan bahwa budaya yang mereka buat dengan tujuan melecehkan Bangsa Indonesia, ternyata justru di lestarikan.

Saat ini bentuk permainan ini masih bertahan hingga sekarang, ada pihak yang tidak mempermasalahkan sejarah permainan ini, tapi ada juga yang tidak setuju dengan budaya ini. Jika sejarah panjat pinang begitu menyakitkan mengapa harus di lestarikan. Ada beberapa kontroversi seputar Panjat Pinang. Sementara sebagian besar Indonesia percaya itu adalah tantangan pendidikan yang mengajarkan orang untuk bekerja sama dan bekerja keras dalam mencapai tujuan mereka, ada orang-orang yang mengatakan Panjat Pinang adalah tampilan merendahkan yang mengirimkan salah jenis pesan untuk pemuda Indonesia. Ada juga isu lingkungan mengurangi sejumlah besar kacang-pohon untuk suatu perayaan hedonistik.Apapun kontroversi yang ada Panjat Pinang selalu menjadi tradisi yang unik di negara Indonesia.


Agustus 24, 2014

Seni Bantengan Mojokerto


Sejarah Bantengan-Mojokerto
Lahirnya kesenian bantengan ada dua versi
a. Berasal dari Batu
Berasal dari kota Batu. Menurut catatan yang bersifat dari mulut ke mulut dimulai dari seorang tua bernama Pak Saimin berasal dari Batu seorang pendekar membawa kesenian ini dan bergabung dengan Pak Saman (kelompok Siliwangi) dari Pacet dan berkembang di Pacet sampai sekarang ini.

b. Berasal dari Cleket (Made) dan berkembang pesat di Pacet
Berasal dari Pacet. Menurut cerita dari Pak Amir anak dari Mbah Siran yang menghidupkan kesenian Bantengan ini sampai sekarang di Claket. Akhirnya kesenian ini hidup subur sampai sekarang di Pacet dan Claket
Kedua versi itu sulit dilacak kebenarannya, mana yang lahir lebih dulu. Tetapi jelas sekali tempat yang terus melestarikan kesenian Bantengan ini adalah Pacet (sering mengadakan Festival Bantengan dan upacara tetap setiap memperingati hari kemerdekaan RI), cara swasembada layaknya kesenian tradisional lainnya di Indonesia.
Kedua versi itu masuk akal kalau dihubungkan dengan geografi kedua kawasan itu. masih banyak terdiri dari hutan belantara dan gunung. Sudah tentu Bantengan itu identik dengan hutan.
Menurut cerita beberapa tokoh bantengan, seni Bantengan ini asal mulanya dari seni persilatan yang tumbuh subur di surau-surau atau langgar (mushollah).
Kesenian Bantengan ini awalnya untuk beladiri bagi pemuda di surau-surau. Tetapi akhirnya menjadi kegiatan seni untuk merayakan upacara perkawinan, sunatan atau bersih desa.
Suatu ketika Mbah Siran dari Claket itu menemukan bangkai banteng yang tergeletak di tepi sungai Kromong tepi hutan. Konon kabarnya ini terjadi karena perkelahian dua ekor banteng. Seekor kalah dan mati menjadi bangkai. Supaya tidak mubazir oleh Mbah Siran bangkai banteng ini diambil khusus kepalanya (tengkoraknya) dibersihkan dan dibawa pulang.
Tengkorak banteng yang berkesan gagah dan berwibawa ini mengilhami Mbah Siran untuk melengkapi kesenian Bantengan yang tidak menarik lagi. Awalnya tengkorak itulah yang langsung diambil untuk dipakai sebagai “topeng” Bantengan itu melengkapi seni pencak silat dan akhirnya karena menarik, hanya Bantengan saja yang lestari sampai sekarang. 
Akhirnya Bantengan ini menjadi cabang seni rakyat atau tradisional yang amat digemari masyarakat.
Bantengan Masa Sekarang
Group Bantengan di Kabupaten Mojokerto awalnya banyak sekali. Menurut catatan, dulu sampai sekarang ke daerah Gondang, Kutorejo dan Tlagan. Bahkan menurut berita dari mulut ke mulut ada juga yang masih hidup di daerah Pandan dan Wonosalam serta di kota kecil Dinoyo. Tetapi yang jalan sampai sekarang hanya Kec. Pacet dan Claket saja. Tak salah kalau banyak orang yang mengatakan bahwa Bantengan kesenian milik Pacet. Atau saling berebut antara kota Batu dan Pacet mana yang lebih dulu melahirkan Bantengan ini tetapi ini sulit dilacak kebenarannya. Mengapa demikian?

Barangkali memang benar kesenian ini dari sana dan secara geografis (Batu dan Pacet) masyarakatnya amat mendukung, hutan dan gunung. Masyarakat Pacet dan Claket memang merasa memiliki seni ini turun temurun yang di “leluri” sebagai penghargaan kepada penemu atau pencipta serta penerus sini Bantengan ini.
Akhirnya topeng Bantengan yang awalnya dari tengkorak banteng asli diganti dengan topeng buatan yang dibuat dari kayu. Ditakutkan akan terjadi perburuan liar untuk menembak banteng, meskipun akhirnya banteng itu punah dengan sendirinya.
Seni Bantengan ini terdiri dari dua pemain yang berperan menjadi seekor banteng. Pemain depan dengan dua laki-laki bertugas menjadi dua kaki banteng di depan, dan kaki milik pemain yang lain bertugas sebagai dua kaki banteng bagian belakang. Tubuh banteng dibentuk dari selembar kain hitam yang menghubungkan kepala banteng dengan ekor banteng yang dimainkan oleh pemain yang di belakang.
Kedua pemain harus kompak bermain. Bagaimana mereka harus bermain menjadi satu tubuh, satu jiwa, satu karakter, satu roh.
Meskipun sebagai seni tradisi yang bersifat seni perlawanan, rasa jiwa, spontanitas “berimprovisasi” layaknya dalam musik jazz ikut mendominasi gerakan-gerakan mereka. Kalau diuraikan secara teori menurut pakar Bantengan memang ada gerakan-gerakan tertentu, misalnya : langkah dua ekor banteng , laku lombo gedong, junjungan, geser, banteng turu (tidur), perang dengan macan (harimau) atau dengan naga, banteng nginguk (melirik), tubrukan dengan macan. Macan pun punya gerakan begitu, juga gerakan pendekar.

Sekarang Bantengan pun juga melibatkan beinatang-binatang lain penghuni hutan (buron alas). Menurut cerita mereka (penggarap Bantengan), banteng adalah simbol pengayom atau pelindung binatang-binatang lain di hutan. Ini sebuah proses panjang yang tidak bisa kita ketahui di mana mereka akan bermuara, karena pemikiran manusia itu terus berkembang (misalnya perkembangan pementasan wayang Purwo atau wayang Kuli), beladiri lewat persilatan, kemudian berubah menjadi Bantengan. Banteng musuh banteng, akhirnya banteng melawan macan, melawan ular naga, melawan kera dan melawan binatang-binatang lain (buron wana). Ini semua karena tuntutan untuk lebih menarik bagi para penonton saja.

Seni Bantengan dalam Konteks Mistik
Budaya nenek moyang kita dalam setiap kegiatan spiritual dan ritual biasanya menggunakan wangi-wangian. Contohnya pada saat “keleman” di sawah diberi sesaji yang diperuntukkan untuk Dewi Sri berupa cikal bakal yang di dalamnya ada unsur wewangian (bunga) memberikan sandingan, dipersembahkan pada waktu punya hajat, sesajen Malam Jumat unsur wewangian tidak aka terlepas. Tradisi semacam itu di dalam agama merupakan bagian dari ibadah, maka dicari unsur wewangian yang seakan identik dengan mistik. Langkah ini dilakukan untuk mengecoh Belanda seakan-akan pemain Bantengan berbuat musyrik. Dengan menggunakan sarana kemenyan (lokal, Arab) dupa, candu atau minyak wangi. Agar murah meriah biasanya memakai kemenyan lokal ditambah minyak wangi, baunya semerbak menyengat. 
Dengan unsur kepura-puraan pula seakan mendatangkan roh halus sehingga pemain seni Bantengan kesurupan, padahal ia bisa memainkan seni Bantengan bukan karena kesurupan. Karena didukung bau wewangian sehingga mampu menunggaling kawula lan Gusti akhirnya keberhasilan yang diharapkan dalam memainkan seni peran dapat dikabulkan oleh Tuhan.

http://hengkypagipho.wordpress.com/

Agustus 23, 2014

Tradisi KING HO PING / Sembahyang Rebutan

Menurut kepercayaan umat Tri Dharma (Buddha, Konghucu, dan Tao), pada bulan Jiet Gwee Cap Go atau bulan ketujuh dalam penanggalan Imlek sesuai penanggalan tahun pertama kelahiran Kongfuzi (Imlek) diyakini sebagai bulan setan. Mulai 1 Juli–30 Juli (sesuai Imlek), pintu gerbang neraka dibuka, dan seluruh penghuninya diizinkan menjejak dunia, kemudian ada sejumlah arwah penghuni neraka yang tidak memiliki tempat singgah dan keluarga. Roh-roh yang selama hidup di dunia menjemput ajal tidak sesuai ajaran agama. 

Roh-roh tersebut gerakannya liar, gentayangan, dan rawan mengganggu hidup umat manusia di dunia. Untuk itu umat Tri Dharma menggelar ritual Sembahyang Rebutan. Salah satunya berlangsung di Kelenteng Tri Dharma Hong San Kiong, Gudo, Jombang.
 Sesajen yang dipersiapkan dalam ritual Sembahyang Rebutan.


Sesajen yang dipersiapkan dalam ritual Sembahyang Rebutan.



Sembahyang di altar Thian Yang Maha Kuasa untuk memohon izin mengadakan doa di kelenteng.


 Ritual pemanjatan doa kepada dewa-dewa lain. Seperti Kwan See Im Poo Sat (Dewi Welas Asih), dan Kong Tik Tjoen Ong (Dewa Pengobatan). Dewa yang disebut terakhir ini dianggap sebagai tuan rumah Kelenteng Hong San Kiong.










Ratusan warga sekitar klenteng berebut sesajian dari berbagai makanan yang telah didoakan saat tradisi King Ho Ping di Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) Hong San Kiong Gudo, Jombang, Jawa Timur.



http://pagiphoartworks.wordpress.com/

http://pagipho.multiply.com/ 

http://pagiphoevent.blogspot.com/ 

https://plus.google.com/u/0/114551813322256491875/posts

All pictures taken with Olympus E1 & Zuiko Lens 18-180mm,1:3.5-6.3.